Thursday, August 25, 2011

Sampah Plastik Itu Kini Digemari Pembeli Asing


Berawal dari melihat sampah yang berserakan setelah terjadinya gempa di Bantul, Yogyakarta, yang terjadi pada tahun 2007, Agustina Sunyi, tergerak untuk mengolah barang yang tidak berguna itu menjadi berbagai macam kerajinan yang menarik. "Saya baru mulai Juni 2009. Belum pernah usaha sebelumnya. Pernah kerja sebagai karyawan di Gramedia," tutur Agustina, pemilik dari usaha Kreasi Limbah Plastik "Sumber Rejeki" kepada Kompas.com, dalam pameran kerajinan di Jakarta Convention Centre, Senayan, beberapa waktu yang lalu.

Ia menyebutkan, awalnya hanya sekadar iseng. Keisengannya ini pun akhirnya mampu dikembangkannya melalui sebuah proses. Agustina yang juga merupakan kader gizi posyandu di wilayahnya, bersama dengan kader yang lain, mengadakan kunjungan ke tempat pengolahan sampah (TPS) pada  2008.

Di TPS itu, ada juga pengolahan sampah yang menghasilkan berbagai produk kerajinan, di antaranya tas yang dibuat dari bekas plastik-plastik kemasan produk. "Saya beli tas (dari kemasan) Molto di tempat pengolahan sampah. Saya pun tertarik untuk buat. Sayangnya, saya enggak bisa jahit," cerita dia.

Nah, meskipun ia tidak mampu menjahit, ia pun tidak putus asa. Kemudian, ia mengajak ibu-ibu di sekitar tempat tinggalnya untuk, pertama, pilah-pilah sampah. Baru setahun kemudian, yaitu tahun 2009, ia mempunyai niat untuk kursus menjahit. "Nyoba-nyoba belajar nyambung dulu, seperti buat produk taplak, yang mudah," ujarnya.

Akhirnya, ia pun mengajak teman-temannya yang bisa menjahit. Ada tiga orang yang membantunya untuk menjahit. Modal atau bahan bakunya pun didapatkan dari mengumpulkan sampah dari rumah masing-masing. "Barang yang sudah dibuat, saya pakai waktu ada pertemuan di kelurahan. Ya, pamer buatan sendiri. Terus ada yang minta buatin," sebutnya sembari tertawa.

Alhasil, ia pun mendapatkan kenalan untuk menjualkan produknya. "Akhirnya punya semangat untuk nambah koleksi, seperti tempat tisu, dompet, dan lainnya," tambahnya.

Ia yang bertempat tinggal di Bantul ini, akhirnya dapat memasarkan produknya sampai Jakarta. Pesanan pun terus membanjir. Bahkan, karena usahanya yang semakin besar ini, ia diajak pengurus di kecamatannya untuk pameran di Benteng Vredeburg, di Yogyakarta pada Juni 2009.

Karena pameran tersebut, ia pun menambah lagi produksinya. Bahan bakunya pun ia tambah dengan cara membeli dari TPS. "Waktu pameran, ternyata ada penjual produk yang sama. Tapi saya lebih laris, karena variasi produknya lebih banyak dan saya kasih harga promosi," ujar ibu dari tiga anak ini.

Dari pameran itulah, mulai banyak pemesanan, bahkan konsumen yang berkunjung langsung ke rumah untuk melihat proses produksinya. "Dari situ berdatangan pembeli, termasuk  buyer dari Jerman. Ada 18 item yang dibeli. Satu item dibeli dengan jumlah dua lusin," tambah dia.

Akhirnya, ia pun menambah jumlah pekerjanya termasuk tenaga penjahit menjadi 20 orang. Tidak hanya itu, pembeli pun banyak memberikan ide untuk menambah kreasi produknya. "Bahkan, ada sampel produk saya yang sudah dikirim ke Kanada," ujar dia.

Ada juga, lanjut dia, buyer yang membeli sekitar 500 buah produk, tapi dia kurang tahu akan dijual ke negara mana. Sekalipun menambah jumlah pekerja, ibu ini pun tidak tinggal diam. "Saya harus buat juga. Saya harus bisa," imbuhnya.

Memang, ia yang enggan menyebutkan detail berapa hasil penjualannya ini hanya berujar pendapatannya pasang surut. Penghasilannya besar jika ada pameran atau pesanan partai besar.

Kini, usahanya pun berhasil menarik perhatian para mahasiswa untuk belajar mengelola sampah. Rumah usahanya pun pernah dikunjungi oleh mahasiswa dari Universitas Tulang Bawang, Lampung. Dengan pekerjaannya ini, ia berhasil membantu suami untuk menyekolahkan anaknya yang kini telah menginjak perguruan tinggi dan sekolah menengah atas. Bahkan, ia pun telah membuat buku panduan untuk mengolah produk buangan, dan sering diajak untuk memberikan pelatihan.                              

0 komentar:

Post a Comment