Monday, June 20, 2011

Gun Soetopo Berbagi Agrobisnis Buah Naga

Pokok-pokok pohon buah naga berjajar rapi. Tiap pokok disangga tiang semen bertulang atau kayu. Tingginya rata-rata 2 meter dan sulur-sulur pohon menggantung sehat. Sayangnya, musim buah naga di kebun di kaki Gunung Merapi, Yogyakarta, itu berakhir April lalu.

Buah naga (Hyloceneus sp) sejak dua tahun terakhir semakin populer dan mudah ditemui di toko swalayan. Kulit buahnya berwarna merah cerah, sementara daging buahnya berwarna putih atau merah gelap dengan biji-biji seukuran biji sawi berwarna hitam dan kandungan vitamin C-nya tinggi


Gun Soetopo bersama istrinya, Elly Mulyati, yang merintis kebun buah naga di Dukuh Kertodadi, Pakem, itu. Gun mulai membangun Sabila Farm tahun 2006 dengan menyewa tanah desa. Luas totalnya 8.2 hektar, lebih dari 6,5 hektar di antaranya untuk kebun buah naga. Sisanya ditanami pepaya, srikaya, sirsak. delima, pisang, durian, dan sayuran.

Gun, lulusan Jurusan Tanah Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor, bertekad kebun di Kertodadi adalah pelabuhan terakhirnya. Ia bekerja di bidang yang berhubungan dengan pertanian sejak 26 tahun lalu, termasuk lebih dari tiga tahun sebagaipegawai negeri.

"Saya berhenti jadi PNS (pegawai negeri sipil) karena tender proyek diatur pemenangnya dan bergiliran. Komisinya juga diatur," kata Gun di kebunnya, akhir Mei lalu.Ia lalu memilih jadi petani hortikultura di Depok; menanam melon, semangka bunga potong, dan membuat media tanam yang hasilnya cukup untuk menghidupi keluarga. Pengalaman menjadi penasihat perusahaan benih hortikultura berteknologi tinggi memberinya tambahan pengetahuan.

"Untuk berhasil dalam produksi hortikultura, kuncinya menguasai benih," kata Gun.

Dianggap sakti

Meski Sabila Farm kerap jadi tempat pelatihan untuk karyawan yang akan pensiun dan mahasiswa, serta dikunjungi tamu dari berbagai negara, bagi Gun, pelatihan itu bukan tujuan, hanya akibat dari niat utamanya.

"Saya ingin mendobrak pertanian agar menghasilkan terobosan bermakna, tidak melingkar terus. Dulu kita impor kedelai Sampai hari ini pun masih. Begitu juga jagung dan beras. Pelajaran di kelas dari dulu sampai sekarang kok hanya tanah podsolik merah-kuning, lalu dosennya tidak praktik ke lapangan. Harus ada cara keluar dari sikap dan cara berpikir rutin," katanya.

Gun sudah membuktikan. Kebun buah naganya menjadi pembicaraan. Bukan hanya karena termasuk perintis penanaman buah naga secara komersial di Indonesia, juga karena dia tak pelit membagi ilmu kepada petani lain, mahasiswa, calon wirausaha, dan pemerintah daerah. Dengan uangnya sendiri, Gun. keliling daerah untuk berbagi

"Ada rasa gelisah yang terus menggelitik. Hortikultura menggunakan satuan energi relatif kecil, tetapi hasilnya besar. Ini tak terjadi pada tanaman padi Bicara hortikultura tropis, Indonesia punya semua- matahari, air. lahan subur karena banyak gunung berapi, penduduknya lebih dari 50 persen hidup dari pertanian. Tetapi kenapa orang Indonesia lebih suka buah impor dari negeri subtropis, yang menurut saya rasanya kurang sedap dibanding buah tropis?" kata Gun.

Buah naga, contohnya Orang lebih suka membeli yang impor meski rasanya kalah enak dengan buah naga yang ditanam di Indonesia Padahal, sudah rahasia umum. Indonesia menjadi pasar buah apkir yang tak me-menuhi standar negara tujuan ekspor utama negara yang bersangkutan.

Ketika memulai kebun buahnya, Gun mendapati tanah yang dia sewa penuh batu padas. Sebagai sarjana bidang tanah, ia tahu bagaimana menjinakkan tanah itii. Apalagi, buah naga masih keluarga kaktus yang tak terlalu menyukai tanah basah.

Daripada mengolah seluruh lahan, dia menggali kotak-kotak ukuran lxl meter. Dia tancapkan patok semen bertulang sebagai sandaran pohon buah naga.

Dalam satu tahun, setek mulai belajar berbuah. Sekarang buah naga Sabila Farm dijual di Yogyakarta, Bogor, dan Jakarta Gun tak menjual ke toko swalayan karena ingin mengajak para penjual buah menjadi wirausaha dengan inovasi, termasuk berani mengenalkan buah baru berkualitas kepada konsumen.

"Tak mudah meyakinkan mereka. Saya komunikasikan berapa harga yang harus ditawarkan dengan marjin keuntungan cukup. Mereka agak kaget, apa mau pembelinya?" kata Gun.

Kini Gun tak sanggup memenuhi permintaan dalam negeri. Padahal, tiap hari datang permintaan dari negara-negara Eropa hingga Amerika Latin yang merasa cocok dengan kualitas buah naga Sahilu Farm.

Saat dia mulai bertanam. warga sekitar meragukan kemampuannya. Gun yang kerap bekerja hingga hari gelap lalu dianggap sakti sebab mengerjakan tanah berbatu padas. "Apalagi, di seberang kebun ada kuburan," katanya terkekeh. Dia semakin dianggap sakti sebab tanah ttu sudah menghasilkan buah naga dan menyediakan lapangan kerja.

Gun menitipkan kebunnya kepada warga dengan ikut kegiatan sosial warga desa "Saat panen, tiap orang saya bagi buah naga. Kebetulan sedesa ini tak sampai 100 keluarga," katanya

Tidak tamak

Gun membuktikan bertani bisa membawa hidup mulia Namun, dia ingin lebih banyak orang hidup sama atau lebih sejahtera Mimpinya Indonesia menjadi produsen hortikultura dunia, setidaknya Asia

"Untuk itu dibutuhkan keberpihakan pada pertanian hortikultura nasiona). Bukan hanya dalam rapat dan seminar, tetapi dalam tindakan dan satu kata dengan perbuatan," ujar Gun.

Daripada berkeluh kesah, Gun memilih bertindak cepat Ia datangi kelompok tani, perguruan tinggi, dan pemerintah daerah. Ia mengajak orang berpikir dan bertindak di luaryang rutin, menunjukkan berbagai kemungkinan.

Di Pakem, dia memelopori Pawitan (Pasar Wisata Pertanian) untuk pasar produk pertanian. Di Bintan, Kepulauan Riau, dan di Pontianak, Kalimantan Barat, petani diajak bertanam buah naga dengan memanfaatkan jejaring pemasarannya

"Karena Bintan di utara khatulistiwa, buah naga yang butuh penyi-naran matahari panjang bisa dipanen bergantian dengan kebun saya yang di selatan khatulistiwa," kata Gun.

Tahun depan, mitra di Bintan mulai berproduksi, disusul Pontianak. Gun juga membagi Umunya melalui siaran radio di berbagai daerah.

Hidup secukupnya, bekerja keras, tekun, terus berinovasi, dan berbagi, tetap menjadi pedoman Gun sekeluarga Ia menjaga independensi dengan tidak menjadi partisan dalam segala hal.

Gun juga menjaga diri dari ke-tamakan. Karena itu, dia memilih bermitra dengan petani di berbagai daerah untuk memenuhi permintaan pasar. "Semua orang bisa melakukan hal sama tetapi harus langsung aksi Jangan bolak-balik rapat, tetapi enggak segera aksi Padahal, pasar menganga menunggu produk kita" kata Gun.

0 komentar:

Post a Comment