Monday, December 19, 2011

UKM ”Didgeridoo” Meraup Untung dari Alat Musik Tradisional

Berawal dari kecintaannya terhadap kesenian, terutama dunia musik, kini Sholeh Supriatna menjadi seorang pengusaha yang terbilang sukses di kampungnya. Hampir semua jenis alat musik dari berbagai negara mampu dia buat. Namun, di antara beragam alat musik, dia hanya menyukai satu jenis alat musik yang berasal dari Australia yang bernama didgeridoo.

Tak pelak, nama alat musik yang berasal dari suku Aborigin itu dijadikan nama usaha kecil menengah (UKM) yang dia dirikan sejak 1999. Didgeridoo sendiri adalah alat musik tiup berasal dari kayu, berukuran panjang lebih dari 1 meter dengan bentuk melengkung berdiameter 10 sentimeter.

Sholeh mengaku, kecintaannya terhadap suku Aborigin berawal dari keunikan suku ini dalam menciptakan sebuah alat musik. Menurutnya, hanya sebagian kecil manusia di dunia ini yang benar-benar bisa memainkan alat musik tersebut. “Biasanya orang kalau membeli ini hanya sebagai pajangan,” katanya, saat acara pameran Indocraft di Jakarta, beberapa waktu lalu.

Dalam memproduksi alat musik tersebut, Sholeh mengatakan tidak banyak kesulitan dalam hal pembuatannya. Selain sudah sering membuat, alat musik ini tidak memiliki bentuk yang sukar untuk dibuat. Selain dari bahan utama kayu jati, didgeridoo bisa juga dibuat dari kayu pinus, bambu, dan kayu suren.

Dengan pembuatan yang cukup sederhana dan tidak memakan biaya banyak, harga didgeridoo hanya berkisar Rp 150.000. Namun, Sholeh mengaku dalam penjualannya menemui kendala lantaran hanya mengandalkan pesanan dari para pembeli.

Sementara itu, untuk pasar di Australia sendiri, alat musik ini tidak bisa diperdagangkan secara bebas, lantaran Didgeridoo adalah alat musik sakral suku Aborigin. Sementara itu, untuk jenis alat musik lainnya serta berbagai kerajinan tangan buatannya harganya berkisar Rp 20.000 sampai jutaan rupiah.

“Kami tidak bisa menjual sembarangan ke Australia, tapi kami masih bisa masuk ke sana. Masuknya disatukan dengan produk furnitur yang diekspor ke Australia melalui agen-agen khusus yang sudah berlangganan dengan kami,” ujarnya.

Selain didgeridoo, Sholeh juga menjual alat musik Jimbe dari Afrika dan beragam patung-patung kebudayaan asli di Afrika. Meskipun begitu, Sholeh tetap mencintai kebudayaan dalam negerinya sendiri dengan memproduksi alat musik tradisional seperti angklung, gong, gamelan, suling, dan dendang, serta beragam cenderamata asli budaya lokal.

“Alat musik tradisional mancanegara jika dipadukan dengan alat musik lokal menghasilkan suara yang merdu. Jadi saya juga ciptakan alat musik Indonesia,” katanya. Sholeh menjelaskan, biaya produksi per bulannya bisa mencapai Rp 20 juta, bahkan lebih. Namun, dari hasil penjualan Sholeh mampu meraup laba kotor sebesar Rp 50 juta. “Itu juga kalau lagi banyak pesanan,” ujarnya.

Hanya saja, usaha Sholeh di Dusun Sadang RT03/09 Desa Cibeusi Kabupaten Sumedang sampai saat ini masih dihantui persoalan modal. Ketika sedang kebanjiran order, Sholeh malah kesulitan modal untuk biaya produksi.

“Kalau ada order kami jarang dikasih uang muka penuh, paling besar 50 persen, rata-rata 25 persen dari total harga yang disepakati. Sementara, kami sulit mencari pinjaman, sehingga dengan keterbatasan biaya kami tetap jalani produksi. Biasanya saya berkorban menjual barang berharga untuk menutupi kekurangan biaya produksi,” tuturnya.

Tidak mau menyerah dengan keadaan tersebut, Sholeh tetap berjuang melawan keadaan sembari mencari informasi untuk mencari tambahan modal. Beruntung teman-teman seprofesi di kampungnya menganjurkan Sholeh menjadi binaan PT Telkom.

Sholeh mengatakan, semenjak menjadi binaan Telkom usahanya mengalami perkembangan. Dari segi modal Telkom siap memberikan Rp 30 juta tambahan modal. Tak hanya itu, dari segi manajemen Telkom memberingan bimbingan manajemen sebuah usaha yang baik dan terarah, sehingga usahanya mampu terorganisasi dengan baik.

“Telkom juga sering mengajak saya ikut serta dalam pameran-pameran. Berkat itu semua usaha saya jadi lebih maju dan terkenal,” ucapnya. Namun, Sholeh menyesalkan ketidakseriusan pemerintah pusat maupun daerah untuk memberdayakan UKM yang ada di daerahnya. Dia bercerita puluhan UKM di daerahnya rata-rata bekerja sendiri-sendiri tanpa ada upaya pemerintah memberdayakan mereka. “Kami malah diperhatikan pihak swasta,” tuturnya.

0 komentar:

Post a Comment