Thursday, May 26, 2011

Pembiayaan UMKM Bank atau Nonbank?

Soal Lembaga Keuangan Mikro (LKM) sesungguhnya negeri ini telah memiliki sejarah panjang. LKM di Indonesia menurut Bank Indonesia (BI) dibagi menjadi dua kategori, yaitu LKM yang berwujud bank serta LKM non-bank. LKM yang berwujud bank antara lain BRI Unit Desa, BPR dan BKD (Badan Kredit Desa). Sedangkan yang bersifat non-bank adalah Koperasi Simpan Pinjam (KSP), Unit Simpan Pinjam (USP), Lembaga Dana Kredit Pedesaan (LDKP), Baitul Maa] wa Tamwil (BMT), Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), arisan, pola pembiayaan Gramcen Bank, pola pembiayaan ASA, Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM), dan Credit Union (CU).


Awalnya LKM memang di-drive oleh program pemerintah yang bersifat non-mar-ket, dengan mengandalkan kredit-kredit program yang dicirikan oleh bunga murah, jangka waktunya lama, peruntukannya jelas dan terbatas, pembeliannya massal, memperoleh dana likuiditas dari bank sentral dan risiko kreditnya ditanggung oleh pemerintah. Sayangnya, karakteristik pelaku bisnis mikro umumnya tidak dapat memenuhi kriteria umum 5C (character, capacity, capital, collateral, dan condition) sehingga tak jarang bank menganggap bisnis yang diajukan seo-rang pengusaha mikro tidak feasible untuk dibiayai.

Kita bisa banyak belajar dari berbagai kredit program yang pernah ada. Kredit Investasi Kecil (KIK), Kredit Modal Kerja Permanen (KMKP), Kredit Usaha Tani (KUT), hingga Kredit Usaha Rakyat (KUR). Untuk yang disebut terakhir, beberapa hambatan KUR ini di antaranya adanya persyaratan bahwa KUR tidak diperbolehkan untuk debitor yang sudah bisa mengakses perbankan (bankable), mengambil alih (take over) fasilitas pembiayaan non-KUR, per-panjangan/tambahan fasilitas kredit dari debitor yang telah memperoleh pembiayaan non-KUR, dan debitor sedang memperoleh pembiayaan dengan subsidi bunga dari pemerintah. Akibatnya, bank cenderung sangat berhati-hati. Hal lain, di dalam praktiknya, bank pun masih meminta adanya jaminan yang cukup sebagaimana layaknya kredit komersial pada umumnya. Belum lagi, besaran bunga yang relatif tinggi.

Aspek kelayakan pemohon (ehgibHity) maupun kelayakan usaha (feasibility) merupakan dua hal yang seringkali menjadi sandungan besar bagi para pelaku UMKM untuk mengakses sumber-sumber pembiayaanformal. Hasil survey World Bank tahun 2007 atas 3.369 kepala keluarga yang tinggal di pedesaan di sepuluh provinsi di Indonesia diperoleh data bahwa dari 60% responden pengaju pinjaman, hanya 17% yang akhirnya mendapat pinjaman dari bank, sisanya meminjam dari lembaga keuangan informal.

Sementara aspek kelayakan usaha di mata bank/ pemberi pinjaman sangat erat kaitannya dengan tingkat kembalian terhadap risiko yang dihadapi Dilihat dari konteks ini memang tampaknya terdapat gap paradigma antara sektor keuangan dengan sektor UMKM. Di mata perbankan, rendahnya penyaluran kredit perbankan nasional ke pasar kredit UMKM disebabkan oleh tiga masalah pokok, yaitu screening problem, incentives problem, dan enforcement problem.

Screening problem umumnya merupakan permasalahan yang ditimbulkan oleh cara menilai kelayakan UMKM yang dipandang dengan pendekatan 5C.

Incentives problem berkenaan dengan perhitungan cost and benefit yang tidak sesuai, akibatnya return yang dijanjikan sektor UMKM senantiasa dipandang terlalu rendah untuk menutup potensi risiko per-bankan

Enforcement problem berkenaan dengan lemahnya mekanisme non pasar (kebijakan, peraturan, dan sebagainya) yang mampu mendorong dunia perbankan mau membiayai sektor UMKM. Dari sini tampak bahwa selama pendekatan lembaga keuangan tidak diubah, khususnya tentang paradigma risiko dan persyaratan kredit, dan di sisi lain tidak ada penguatan/pem- berdayaan di tingkat pelaku UMKM, maka gap ini akan semakin sulit diatasi. Tak hanya gap paradigma, akses UMKM terhadap pembiayaan formal juga terkendala oleh aspek-aspek lainnya seperti hambatan internal lembaga pembiayaan, selain hambatan makro lainnya.

Terkait dengan bentuk kelembagaan (bank atau nonbank) yang lebih tepat untuk UMKM, sebuah penelitian yang dilakukan oleh Saptono (2011) menunjukkan, lembaga pembiayaan non-bank lebih direkomendasikan sebagai lembaga pembiayaan bagi pelaku usaha skala kecil (dalam hal ini petani tanaman pangan). Hal ini dilandasi argumentasi bahwa lembaga pembiayaan bukan bank dapat bergerak lebih fleksibel.

Selama ini Undang-undang (UU) No. 10 tahun

1998 tentang Perbankan berikut aturan-aturan lain yang tertuang dalam peraturan Bank Indonesia dirasakan terlalu kaku (rigid) dan memberi ruang yang terbatas bagi lembaga pembiayaan usaha mikro dan kecil. Aturan dimaksud seperti aspek kecukupan modal (CAR), rasio pinjaman terhadap pihak ketiga (LDR), kebijakan pemberian kredit dan restrukturisasi, uji kepatuhan, serta kebijakan lain yang jika diterapkan menyebabkan banyak usaha mikro dan kecil menjadi tidak layak dibiayai.

Dengan demikian berbagai wacana yang berkembang tentang LKM saat ini, apakah bentuknya formal-informal, bank atau nonbank, dan pandangan-pandangan lainnya diharapkan dapat memperkaya referensi saat DPR nanti kembali membahas RUU LKM hingga akhirnya terlahir menjadi sebuah UU yang produktif bagi semua elemen, tidak membelenggu/ menghambat tumbuh kembang UMKM, dan yang jelas mampu melindungi para pelaku UMKM dari berbagai bentuk diskriminasi/ ketidakadilan, serta mampu mengentaskan dari jeratan lintah darat yang selama ini bergentayangan di sekeliling mereka. "

0 komentar:

Post a Comment