Thursday, May 26, 2011

Politikpreneur

Lebih dari 30 tahun lalu, seorang guru besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKU1) memberikan wejangan kepada dokter-dokter muda yang baru saja di wisuda. Meski guru besar itu telah lama berpulang, pesannya masih tetap saya ingat. "Menjadi dokter itu baik, demikian juga menjadi pedagang. Yang tidak baik adalah mengawinkan keduanya." Pesan itu ada baiknya juga disampaikan oleh para ketua, dewan pembina, dan pengurus partai politik Menjadi politi-kus itu baik, demikian juga menjadi wirausahawan. Yang tidak baik adalah menggabungkan keduanya. Penggabungan itu bentuknya sangat luas, tetapi intinya cuma satu, yaitu menggunakan kekuasaan untuk mengejar kekayaan.

Kewirausahaan yang menyandang makna inovasi dan ketabahan mengelola rasa frustrasi dari investasi jangka panjang pupus di gedung-gedung parlemen. Demikian juga dengan pendidikan dan kerja keras. Semua itu menjadi tidakpenting, dan maknanya telah diganti dengan kata-kata kunci seperti komisi, suap, bagi-bagi, tekan, ancam, kunci, dan seterusnya.


Politikpreneur yang harusnya dimaknai sebagai upaya politisi membangun negaradengan jiwa kewirausahaan kini telah berubah menjadi "cara cepat menjadi kaya dan berkuasa melalui partai politik.1 Lantas apa yang menjadi output dari politikpreneur seperti ini?

Saya kira Anda sudah bisa menduga Kegaduhan, drama-drama konflik, sampai kemiskinan, impor bahan-bahan pangan (yang tidak perlu) melonjak, perebutan izin-izin pertambangan, subsidi yang salah sasaran, gedung sekolah roboh, subsidi obat dan alat-alat kesehatan yang tidak tepat sa-saran, sampai segala bentuk ekonomi biaya tinggi, dan ke-macetan-kemacetan di pelabuhan.

Politikpreneur telah menimbulkan kerusakan yang sangat besar di negeri ini. Dimulai dari kepala negara yang kesulitan mengangkat "The best possible candidate" untuk mengisi pos-pos strategis (mulai dari menteri, dubes, komisaris, dan direksi perusahaan-perusahaan milik negara, sampai kepala-kepala badan) yang mengurus nasib bangsa. Lalu kesemrawutan anggaran banyak berbelok pada kantong-kantong yang salah.

Konflik antarkelompok masyarakat, pengadaan barang dan jasa pemerintah yang dikuasai orang-orang yang tidak tepat Obat murah dan alat-alat kesehatan yang tidak dinikmati rakyat miskin, jalan rusak pa-rah,sampahmembumbung,pen-jarapenuh,pestisidadanpupuk-pupuk kimia bertebaran di lahan-lahan pertanian yang berakibat pada munculnya namanama baru dan-seterusnya.

AtoD Politikpreneur

Kalau ada merek mobil AtoZ, dalam politikpreneur dikenal AtoD. Setidaknya ada empat karakter (ABCD) poli tikpreneuryangmenyulitkan rakyat ini harus segera dibersihkan, yang terdiri atas abal-abal, Boboho, cukong, dan diplomat.

Abal-abal adalah elite palsu, yang terdiri atas para sarjana dengan embel-embel gelar lainnya yang berpura-pura elite, gemar mengutak-atik peraturan, sering muncul di televisi sebagai pakar. Mereka juga masih menyandang label sebagai konsultan, pengacara, atau profesi terpan-dang lainnya.

Meski dilarang berpraktik, pekerjaan-pekerjaan profesional itu cuma dipindahtangankan secara tidak resmi. Honornya masih menjadi main income politisi abal-abal. Dengan kekuasaan baru, peluang untuk berusaha bahkan makin besar.

Mereka pandai bicara, tetapi kepiawaiannya hanya dipakai untuk bertengkar, adu kuat yang membuat orang lain takut, atau seakan-akan dia terlihat kuat, punya kekuasaan. Kekuasaan abal-abal itulah yang dipakai untuk mendapatkan bisnis.

Boboho bisnis lain lagi. Politisi tipe ini punya modus yang berbeda. Mereka ini bukanlah juru bicara resmi dari partainya, melainkan suaranya lebih genit dari jubir resmi dan muncul lebih sering di depan media. Meski suaranya tak elok, mereka punya kualitas bicara seenaknya seperti orang dungu.

Boboho adalah sosok yang dipelihara orang-orang tertentu untuk berperan mengacaukan kebenaran. Dia melempar bola-bola panas sehingga yang salah bisa menjadi benar, dah yang benar bisa menjadi salah.

Lain lagi dengan cukong.

Mereka ini adalah politikpreneur yang sedari awal terlihat kaya, murah hati, dan mudah menabur uang.Tak banyak yang mengetahui dari mana uang sebanyak itu dimilikinya. Cukong juga berperilaku halus, tidak senang konflik, apalagi muncul di media massa. Baginya menjadi orang terkenal adalah bencana.

Dengan cara demikian, seorang cukong menjadi mulus beroperasi, kasak-kusuk tanpa diketahui publik. Karena itu, mereka tidak dianggap sebagai ancaman oleh sesama politisi. Dalam sidang mereka lebih senang guyon daripada bicara kasar. Namun, dengan itu pulalah, dia menjadi mudah mengatur suara kebanyakan politisi.

Jika seseorang tidak senang usahanya diganggu eksekutif, impornya dilarang, atau ada satu saja pasal undang-undang baru yang sedang dibahas perlu dihapus, serahkanlah kepada cukong, semua bisa dibereskan. Cukong adalah pemberi terbesar karena dia mendapatkan bagian yang paling besar.

Selain itu, ada juga diplomat yang bermain dua arah. Mereka tahu siapa yang harus diajak bicara halus dan siapa yang harus ditekan. Jadi wajar bila mereka hidup dengan duawajah. Di sini baik, di depan sidang bisa galak. Hari ini gelap, besok terang benderang.

Diplomat adalah seorang marketer sekaligus seorang salesman. Dia mengatur bola-bola panjang dan bermain bola-bola pendek. Kaki yang satu menembus tembok, yang satunya lagi mengambil dari luar.

Tentu saja masih ada bentuk-bentuk lain dengan segala kelicinannya. Namun, sementara ini kita batasi saja pada empat modus politikpreneur yang membuat hidup rakyat menderita. Sekarang bayangkan kalau mereka masing-masing punya usaha yang ada hubungannya dengan eksekutif, atau katanya demi keuangan partai.

Modusnya mulai tampak terang benderang. Mulai dari impor daging sapi, bumbu dapur, sampai ikan kembung. Dari jalan tol sampai menyewakan cranedi pelabuhan.

Wiraetika

Kewirausahaan sendiri sebenarnya bukanlah upaya untuk mengejar kekayaan. Seorang wirausaha menjadi kaya bukanlah tujuan, melainkan akibat, yaitu akibat dari keju juran,kesungguhan,kemam-puan menciptakan layananyang prima, dan memberi nilai tambah. Seorang wirausaha tanpa etika adalah penipu, penjahat yang layak dimusuhi bersama.

Sekarang ini kita lebih banyak disuguhi nilai-nilai yang jauh dari fondasi kewirausahaan di dalam panggung politik. Dengan pelaku-pelaku yang demikian, Indonesia telah dibentuk menjadi negeri penuh sampah dan amarah, pestisida, pupuk-pupuk kimia, korupsi dan perampasan, konflik, dan kebencian karena para politikpreneur bermain di ruang yang salah.

Kalau etika mau ditegakkan, bukan sekadar larangan mengunjungi tempat-tempat yang tidak patut yang harus ditegakkan, melainkan juga berhentilah mencari uang selain dari gaji dan tunjangan-tunjangan yangtelah diberikan negara. Menyambi sebagai pengacara secara diam-diam,men-jadi perantara proyek, konsultan kementerian yang administrasinya diurus kawan-kawannya, calo proyek, pengutip anggaran, atau apa saja jelas melanggar etika. Bukan kesejahteraan yang akan dituai, melainkan kesulitan-kesulitan besar menjadi beban rakyat sekarang dan di masa depan.

0 komentar:

Post a Comment