Wednesday, November 16, 2011

Merangkai laba ikat pinggang batok kelapa

Limbah batok kelapa ternyata menyimpan banyak manfaat. Sampah tempurung itu bisa disulap menjadi aksesori seperti sabuk atau ikat pinggang. Kreasi produk ini bukan hanya dilirik oleh pasar lokal, tapi juga disukai oleh pasar ekspor karena ramah lingkungan. Tak heran, perajin sabuk batok kelapa ini bisa menangguk omzet ratusan juta rupiah.

Selain menjadi barang kerajinan, limbah batok kelapa juga bisa disulap menjadi ikat pinggang yang unik. Gesper ramah lingkungan ini banyak dibuat oleh perajin kreatif di Bali dan Yogyakarta.

Salah satunya, Abdul Aziz, pemilik Larizo Kerajinan Bali. Di bengkelnya, Abdul membuat ikat pinggang batok kelapa yang menjadi usaha turun temurun orang tuanya. Usaha ini telah menjadi mata pencaharian utama masyarakat Desa Pemuteran, Kecamatan Grokgat, Kabupaten Buleleng, Bali, tempat tinggal Abdul.

Padahal, pembuatan ikat pinggang batok kelapa ini cukup sulit. Batok kelapa yang keras, harus terlebih dulu diolah dalam beberapa tahap, sebelum dirangkai menjadi ikat pinggang. Abdul bilang, bahan baku batok kelapa tersebut dibelinya seharga Rp 400.000 per bak mobil pikap atau Rp 300 per kilogram.

Porsi kiloan menjadi pilihan beberapa perajin ikat pinggang ini jika membutuhkan batok kelapa dengan kriteria warna khusus seperti putih, cokelat natural atau hitam. "Jika membelinya dengan sistem borongan, yang didapat adalah batok kelapa campuran," jelasnya.

Setelah batok kelapa terkumpul, mulailah proses pemotongan batok kelapa tersebut hingga seukuran manik-manik atau kancing pakaian. Setelah itu baru dibentuk dan dirangkai menjadi ikat pinggang.

Rangkaian ikat pinggang ini kemudian diberi warna dengan pewarna tekstil. "Proses ini yang paling memakan waktu karena harus dijemur di bawah terik matahari hingga cat benar-benar kering," ucapnya. Selanjutnya, pada proses finishing, perajin akan menambahkan bahan lainnya, seperti tali sepatu atau benang elastis.

Abdul menjual gesper ini berkisar Rp 12.000 hingga Rp 20.000 per buah. Sebulan ia bisa menjual hingga 10.000 pieces, sehingga omzet usaha ini mencapai Rp 150 juta.

Selain dipasarkan di wilayah Bali, ikat pinggang batok kelapa ini juga dikirim ke Jawa, Sumatra dan Kalimantan. Abdul pun menawarkannya lewat internet supaya bisa menjangkau pasar yang luas.

Berbeda dengan Abdul, Kulonuwun Handicraft justru langsung membidik pasar ekspor sebagai pasar sabuk batok kelapa produksinya. Maklum, menurut Ibnu Sukoco, Manajer Produksi Kulonuwun Handicraft, ide pembuatan ikat pinggang ini berasal dari banyaknya permintaan klien mereka di luar negeri.

Karena itu, mereka lebih fokus menggarap pasar ekspor. "Namun, belakangan, kami juga menjual sejumlah ikat pinggang ini untuk pasar lokal," kata Ibnu.

Kendati cukup agresif memasarkan ke pasar lokal, pihaknya baru mampu menjual sebanyak 200 pieces saja ke wilayah sekitar Jawa dan Bali. Padahal setiap bulan kami biasa mengirim produk ini hingga 1.000 pieces untuk di ekspor ke beberapa negara seperti Singapura, Malaysia, dan lainnya," ujarnya.

Dengan harga jual Rp 30.000 per pieces, pihaknya pun bisa mengantongi omzet hingga Rp 36 juta per bulan. Meski begitu, Ibnu bilang, pihaknya masih terganjal oleh pengembangan desain sabuk. "Karena perajin kami bukanlah desainer fesyen yang paham untuk membuat model ikat pinggang yang laris di pasaran sebagai aksesori," ungkapnya.

Kendati demikian, ia mengaku optimis bahwa prospek produk ini masih sangat bagus. Khususnya di pasar ekspor, karena konsumen sangat senang dengan produk ramah lingkungan. "Kesadaran akan produk ramah lingkungan masih belum maksimal dipraktikkan oleh masyarakat Indonesia," jelas Ibnu. Pada usaha pembuatan gesper ini, perusahaannya bisa memperoleh margin keuntungan mencapai 20%-30%.

0 komentar:

Post a Comment