Monday, September 19, 2011

Global Batik Dakwah, Wirausaha dan Peluang

Berbekal pengalaman di dunia pendidikan dan dakwah, ditambah berbagai pengalaman hidup yang penuh warna. mendorong Hanlef Khalid untuk menggunakan bakat dan kekuatannya di bidang batik yang sudah dikenalnya sejak berusia empat tahun. Karena Itu. setelah aktivitas dakwah, pendidikan dan pemberdayaan masyarakat yang dijalaninya terbentuk dana. Hanif mulai serius membangun usaha pembuatan dan penjualan batik. Maka, sejak tujuh tahun lalu Hanlef merintis usaha balik Madura.

Temyata. usaha batik yang dibangun bersama Isterinya Ini bisa berkembang. Sebagai kewirausahaan sosial dengan semangat dakwah maka pemberdayaannya melibatkan banyak masyarakat. Apalagi, di dukung sebagian masyarakat di sekitar kediamannya, yang Juga memiliki pengalaman membatlk dengan corak batik pesisiran Madura.

"Setelah uji coba lernyata sebagian hasilnya bagus-bagus. Sejak itu kami mulai membangun usaha batik dan memasarkan sendiri." tutur Hanif.

Usaha baru Ini, temyata terus berkembang, tapf Hanlef sadar bahwa usaha batik tak bisa dilakukan asal-asalan. Maka, dia membentuk badan usaha bernama usaha dagang (UD) Berkah Bersama. Batik hasil buatan para pengrajin yang bernaung di bawah kelompoknya ini langsung dipasarkan, di Pamekasan.

Meskipun hanya dipasarkan di Pamekasan, lernyata produk batlknya sangat diminati pasar. Pelanggannya bukan hanya orang-orang lokal, melainkan Juga daii berbagai kota lain, terutama di Jawa. Karena pasarnya semakin luas, maka Hanif mengganti namanya dart usaha bersama menjadi UD Global Batik.

Tahun 2006. batik yang diproduksi oleh Global Batik Juga mulai dikenal kalangan pemerintah. Selain menjadi langganan sejumlah lembaga pemerintah setempat. Global Batik Juga kerap diajak kerjasama dengan berbagai lembagauntuk memberikan pelatihan membatlk. Posisi Ini membuat Global Batik semakin dikenal masyarakat.

"Pada tahun 2006 Itu juga, kami bisa melibatkan puluhan pengrajin batik dan 12 penjahit yang tergabung dengan UD Global Batik." ujar Hanif.

Pada tahun 2010. Hanif mendapat undangan dari Dinas Perdagangan dan Industri Pamekasan Madura untuk mengikuti pameran batik di Thamrin Cit)- Jakarta. Thamrin City merupakan pusat perdagangan baru di Jakarta Pusat yang memiliki zona perdagangan di antaranya yaitu Pusat Batik Nusantara. "Saat Itu, saya mendengar ada undangan untuk Ikut pameran batik yang katanya akan berlangsung selama enam bulan mulai Juni sampai Desember, maka, saya mencoba menangkap peluang Itu untuk ikut pameran dengan biaya sendiri," kau Hanif.

Sempat nangis bersama istri

Setelah masuk Thamrin City, temyata harapan Hanlef tak sesuai kenyataan. Temyata kios-kios yang ditempati para pedagang masih sepi dari pengunjung. Dengan menempati kios di Blok H 50 Lantai Dasar Thamrin City. Hanlef mengaku hampir menangis setiap hari karena batiknya tak laku.

"Waktu Itu saya sampai hafal siapa yang lewat di depan kios kami. Kalau bukan sesama pedagang atau pembeli yang mau ke WC. ya orang mau balik ke kios mereka." katanya menggambarkan suasana Thamrin City dulu saat dia mulai berdagang batik.

Sepinya pembeli yang datang berdampak buruk pada kelompok usaha Global Batik di Pamekasan. Utang mulai menumpuk karena Hanief dan Isterinya harus membiayai semuanya dari kocek sendiri. Kondisi seperti Ini terasa lebih menyakitkan jika dia membandingkan dengan usaha batlknya di Madura yang sudah memiliki pasar dan terbukti berkembang.

"Bagaimana nggak sakit, di Pamekasan sudah lumayan bagus. Banyak pengrajin kami yang mampu mendapat hasil Rp 1.5 juta per bulan. Ini juan di atas UMR lokal yang baru mencapai sekitar Rp 800.000 per bulan. Tiap hari kami berdua nangis. Isteri saya sampai maleng hidungnya." kata Hanlef mengenang masa sulit dalam usahanya.

Kondisi seperti Itu berlangsung kira-kira selama tiga bulan. Namun Hanief yang sudah terbiasa teruji. Pengalamannya sebagai pendakwah. pendidik dan pelaku pemberdayaan sosial, seolah memberikan semangat baru bahwa suasana perdagangan yang sepi di Thamrin City tidak lebih buruk dibandingkan berbagai tantangan yang pernah dihadapi ketika dia melakukan tugas mulia di berbagai wilayah di Indonesia.

Solusi lahir dari kepepet

Temyata keterpepetannva telah melahirkan solusi. Hanlef terpaksa mengontak para pelanggannya yang tinggal di Jakarta. Diajuga mengontak kawan-kawan lamanya yang berada di Jakarta dan sekitarnya. Hasilnya, tokonya mulai ramai didatangi pelanggan Jakarta serta relasi di bidang lain yang memerlukan batik atau mene-ngoknya untuk memberikan semangat

"Saya masih Ingat pelanggan Jakarta pertama yang datang sampai habis belanja sekitar Rp 4 Juta. Selanjutnya pelanggan lain Juga mulai berbelanja di sini." kata Hanief.

Hasil penjualannya pun mulai membaik. Dia Ingin para pengrajin yang sudah ikut kembang kempis akibat kios Global Batik sepi pembeli bernafas dan bergerak lagi. Keinginan Hanif ada tempat yang bisa digunakan untuk melakukan evaluasi dan perencaan usaha. Sebelum Ini kami nggak bisa melakukan Itu. Kami tinggal di Bogor. Selama Itu kami nggak bisa melakukan evaluasi. Sebab pulang dari sini sudah malam, capek dan langsung tidur." katanya.

Setelah mengontrak rumah di sekitar Thamrin City. Hanief dan Ijah tidak hanya mampu melakukan evaluasi dan cara-cara pemasaran yang strategis. Selain Itu Hanief bisa memanfaatkan waktu untuk mendatangi teman-temannya sekaligus mencari pelanggan.

Temyata. upaya itu membuahkan hasil, jumlah pelanggan meningkat dan kiosnya mulai ramai dikunjungi masyarakat yang mencari batik Madura, termasuk para pejabat dan mahasiswa. Selain itu, sesama pedagang batik atau pakaian di Thamrin City yang tidak memiliki batik Madura juga mulai ikut mempromosikan batik Madura produk Global Batik.

"Setelah Itu omzet kami meningkat drastis. Kalaupun kami mau beli rumah dan mobil baru, kami sudah bisa. Tapi kami memilih untuk mengirimkan uang itu ke Madura agar para pengrajin semakin produktif dan temyata semangat pengrajin pun terdongkrak. Mereka bahkan menyatakan slap mengirimkan batik sebanyak satu kontainer." tambah Hanlef sambil tertawa.

Bapak ratusan pengrajin

Memasuki tahun 2011 Batik Global semakin berkembang dan jumlah pengrajin yang terlibat dalam pembuatan batik sudah mencapai 700-an erang. Mereka terbagi menjadi dua kelompok, yakni pengrajin batik biasa dan pengrajin batik dengan ketrampilan tinggi sekaligus inovatif. Untuk pengrajin biasa. Hanif mengatakan, uang yang diperoleh bisa mencapai Rp 900.000 hingga Rp 1 juta per bulan. Sedang pengrajin dengan keterampilan tinggi bisa mencapai Rp 1.5 Juta atau Iebih. Tergantungkualitas yang dihasilkan, semakin tinggi kualitas batik yang dihasilkan, pendapatan mereka akan semakin tinggi." katanya.

Meskipun usahanya sudah mulai berkembang. Hanlef dan Ijah mengaku belum puas. Dia berharap pemda dan lembaga perwakilan setempat membangun atau menghidupkan lagi pasar tradisional batik agar usaha pembuatan batik dan rantai ekonominya kembali hidup.

"Maksud saya kalau menginginkan Pamekasan menjadi kota batik, pemerintah dan DPRD setempat, harus memberikan fasilitas agar pasar tradisonal dihidupkan lagi. Kalau hidup lagi maka rantai ekonominya akan terbangun lagi. Mulai dari pengrajin di sisi hulu sampai konsumen di sisi hilir bisa berkembang dan diuntungkan karena ada sarana yang memadai." katanya.

Tapi Haniel merasa Ide-ldenya tidak pernah digubris. Seringkali. Pemda berjalan tanpa membuat kajian dan pengamatan yang cukup terhadap pasar. Galeri batik, misalnya, menurut Hanlef saat ini malah terbengkelal. Termasuk usulan agar pemda menjembatani peminjam kredit dengan bunga lunak dari perbankan. "Kami Ini kan menampung ratusan pengrajin. Setelah mereka mampu membuat batik dan menjahit harus segera disalurkan." ujarnya. Maka Hanief. mencoba menata usahanya secara lebih modern.

"Kami sedang menjalin relasi dan membuka akses agar sejumlah BUMN memberikan bantuan permodalan kepada para pengrajin yang memiliki potensi untuk berkembang. Selain Itu kami sedang berencana menyiapkan unit display untuk menampung produk-produk mereka." katanya.

Selanjutnya agar batik Madura Ini terserap ke pasar yang adil. Hanlef tengah menyiapkan satu model kerja sama yang menbuka kesempatan kepada lembaga usaha pemerintah seperti BUMN atau BUMD dan masyarakat swasta untuk terlibat. Maka, dia Ingin mengajak mereka berinvestasi membangun infrastruktur sejak sisi hulu hingga sisi hilir.

"Kalau mereka ikut berinvestasi maka mereka tidak Ikut mengeskloltasl pengrajin. Maksud saya, mereka akan tahu berapa biaya yang dikeluarkan dan berapa keuntungan yang akan diambil sehingga pengrajin tetap hidup dan meningkat kesejahteraannya dan konsumen tak mendapat harga terlalu tinggi." katanya.

Sebab selama ini. batik tulis Madura yang dilepas oleh pengrajin sebesar Rp 100.000 ke bawah per potong, setelah jatuh di tangan pedagang dijual menjadi ratusan ribu hingga Jutaan rupiah. Kondisi perdagangan seperti Ini. tegasnya, akan merugikan pengrajin maupun konsumen. Pasar yang tidak adil seperti Itu. menurutnya tak bisa dibiarkan.

"DI dunia pengrajin temyata bisa dilakukan. Meskipun masih dalam skala kecil temyata usaha yang dirintis Pak Jati Eko Waluyo (pemilik Sentra Kerajinan Indonesla/SKI sebagai pelopor penjualan batik yang adil dan transparan-red) di Thamrin City untuk menciptakan pasar yang adil dan transparan bisa diupayakan. Di batik kehadiran para Investor yang Jujur Juga akan mampu menciptakan dunia usahadan perdagangan yang adil dan transparan." harapnya.

0 komentar:

Post a Comment