Tuesday, September 13, 2011

Sukses lewat inovasi furnitur batik

Kemiskinan rupanya mendorong Dafyono langsung mencari penghasilan ke Jakarta selepas dari bangku SMA di Bantul. dari keluarga paling miskin di kampung. Orangtua adalah petani yang garap sawah orang lain." kata Dalyono mengenang asalnya.

Sesampai di Jakarta, Dalyono langsung disambut kerasnya kehidupan Ibu Kota hingga bergabung dengan para gelandangan di Teluk Gong, Jakarta Utara. Lebih dari 7 bulan dia menggelandang tak tentu arah hingga akhirnya jatuh sakit dan dibawa pulang ke Bantul.

Dalyono lantas dimasukkan ke Panti Sosial Bina Remaja (PSBR) Yogyakarta, sebuahtempat penyantunan dan pelayanan sosial terhadap remaja telantar.

Sebagai murid di panti, dia pun mengerjakan mebel dan akhirnya bekerja di perusahaan. "Saat bergaul dengan kayu itulah, saya yakin inilah jalan hidup saya," tuturnya.

Selain bekerja di perusahaan, rupanya Dalyono juga buka usaha mebel kecil-kecilan di rumahnya dengan nama Mataram Furniture yang melibatkan 25 pekerja dari keluarga miskin. Usahanya berkembang bahkan dalam perjalanannya, seluruh pekerjanya kini juga sudah punya usaha furnitur mandiri.

Atas upayanya ikut memberdayakan para pemuda di daerahnya, Dalyono pun masuk lima besar pemuda pelopor tingkat provinsi dan dibiayai pemda ikut kursus manajemen Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada bekerja sama dengan lembaga pendidikan Ciputra.

Saat gempa bumi melanda Yogyakarta pada Mei 2006. rumah Dalyono ikut roboh hingga karier usahanya juganyaris kandas menrusul bengkel mebelnya ikut bangkrut.

"Lantas dari mana saya bisa makan? Tak mungkin berhenti karena ini adalah peluang saya, walau orang-orang menganggapnya musibah."

Dia pun melihat kebutuhan masyarakat terhadap kusen dan pintu sangat besar. Di sisi lain pemasok dan tukang kayu berkurang hingga harga kusen melambung tinggi.

"Akhirnya saya beli di Kulonprogo dan Purworejo dengan murah karena di sana tidak kena gempa untuk dijual di Yogya dengan lebih mahal."

Wirausaha sebagai pemasok mebel kembali jalan lewat proyek rekonstruksi rumah dari pemda setempat. Sebuah rumah yang roboh tolal bantuannya Rp) 5 juta sedangkan rumah yang roboh setengah Rp4 juta. "Yang saya tangani hampir sekitar empat kelurahan. Satu kampung sekitar 50 rumah. Satu kelurahan berapa kampung. Saya lupa totalnya."

Proyek itu rampung dikerjakan hingga dia kembali dapat proyek dari Java Reconstruction Fund untuk jadi pemasokmebel bagi 280 rumah.

Setelah Yogyakarta kembali pulih tak ada lagi pekerjaan rekonstruksi buat Dalyono. "Saya pikir setelah rumah mereka berdiri, pasti utuh interior seperti meja, kursi, lemari, dan tempat tidur. Akhirnya, saya balik ke furnitur."

Modifikasi batik

Perusahaan tempat kerjanya dulu mengontak Dalyono untuk kembali bekerja, tetapi sebagai tenaga lepas sebagai pengecek barang. Dia juga diminta jadi pemasok furnitur.

Awal 2009 Dalyono benar-benar terjun berwirausaha jadi produsen furnitur. Pada saal yang sama dia melihat kondisi pembatik yang diupah murah. "Generasi muda tak mau membatik dengan upah murah." "Bagaimana bisa ikut andil? Karena saya furnitur, maka saya modifikasi dengan batik."

Sejak itu mulailah Dalyono menoreh motif batik ke atas furnitur. Langkah itu diawali bertandang ke Institut Seni indonesia Yogyakarta, berdiskusi dengan dosen dan ahli batik.

Dia juga belajar membatikdi atas kain. Dari situlah Dalyono mulaJ aplikasi kin teknik membatik ke produk furnitur. Banyak kesulitan ditemui mulai dari kemiringan canting pada furnitur, menghilangkan malam, hingga membuat motif batik tetap lekat di furnitur. "Saya pikir ini akan jadi peluang karena awal saya kerjakan ini sulit. Orang meniru pun pasti sulit."

Sekitar 3 bulan beruji coba membalik furnitur, hasilnya tak sia-sia. Dalyono akhirnya mampu menerapkan teknik membatik di berbagai furnitur seperti kursi, meja, dan lemari. "Saya pun tak khawatir dicon-tek orang. Sebelum ditiru, saya sudah siapkan beberapa inovasi baru setelah harga yang sekarang turun."

Saat ini Mataram Furniture memiliki 80 perajin, 30 di antaranya pemasok furnitur yang diletakkan di gudang di Jepara, Sragen, dan Klaten. Adapun proses membatik dilakukan di Bantul. Dalyono sendiri sulit memerinci berapa produksinya setiap bulan.

Yang jelas furnitur batik mampu meningkatkan permin-taan hingga tiga kali lipat dibandingkan dengan furnitur biasa. Pemasaran juga melalui website dan jejaring sosial.

Untuk ekspor, lanjut pria 31 tahun ini, permintaan masih berupa furnitur biasa karena tidak mau dihiasi batik dari bahan kimia. "Makanya, saya lagi uji coba furnitur batik pakai pewarna alam."

Setiap perajin yang membatik diupah Rp75.000 per furnitur. Dengan upah tinggi ini anak-anak muda mau pegang canting dan membatik lagi. Atas usahanya membantu pemuda pengangguran, Dalyono akhirnya dapat penghargaan dari Kementerian Pemuda dan Olah Raga dengan predikat wirausaha berprestasi nasional 2009.

Kun selain sibuk berbisnis, dia pun sibuk mengajari usaha kecil dan menengah di 17 kecamatan di Bantul. Perajin di Solo, Sragen, Makassar, dan Pontianak ikut dibimbingnya. Dalyono pun sudah duduk di bangku kuliah. "Saya ini keqa untuk kuliah. Bukan kuliah untuk bekerja," tuturnya.

0 komentar:

Post a Comment