Monday, July 25, 2011

Dulu Berbahan Kulit, Sekarang Spons

Sejak tahun 1960-an, Desa Wedoro di Kabupaten-Sidoarjo, Jawa Timur terkenal sebagao sentra produksi sandal. Hampir 80% warga Wedoro menggantungkan hidup berbisnis sandal. Mulai dari perajin, pedagang bahan baku, perkakas kerja hingga menjadi bakul sandal ke luar daerah.

Alas kaki terus mengalami evolusi model menyesuaikan zaman. Namun, satu hal yang tak berubah yakni alas kaki dibutuhkan untuk semua rutinitas harian. Ini sebabnya, alas kaki menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan seseorang.


Ini pula yang menjadi sebab bisnis alas kaki terus bertumbuh. Salah satunya desa Wedoro, kecamatan Waru, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur. Warga di sana seperti berlomba memproduksi alas kaki, utamanya sandal.

Perajin sandal di desa Wedoro sudah ada sejak 1960-an. Hingga kini, perajin tersebar di sembilan rukun tetangga (RW), antara lain RW Wedoro Madrasah dan RW Wedoro Sukun.

Jumlah perajin disetiap RW mencapai ratusan orang. Untuk satu desa, jumlah perajin sandal bisa mencapairibuan orang. Selain perajin, ada juga pedagang sandal yang memasarkan sandal hingga ke pelosok tanah air.

Saat memasuki desa ini, tampak mobil bak terbuka sarat muatan sandal lalu lalang masuk maupun keluar desa Wedoro. Pemandangan ini akrab bagi warga Wedoro, khususnya perajin. Memproduksi 1.000 pasang sandal tiap hari, mobil-mobil inilah yang bersliweran mengambil sandal untuk dikirimkan ke daerah lain.

Selain mobil yang penuh muatan, desa ini lumayan bising. Dari kejauhan, suara bising yang cenderung mendengung sudah terdengar. Suara ini dihasilkan oleh mesin-mesin yang sedang digunakan perajin untuk membuat sandal.

Tak hanya itu, aroma lem yang menyengat terasa menganggu saat semakin jauh memasuki desa ini.  Meski begitu, perajin tetap ramah menyambut tamu. Mubin, salah seorang perajin bilang, pembuatan sandal di desa Wedoro sudah menjadi mata pencaharian utama warga. "Bahkan usaha ini sudah turun temurun," kata Mubin yang mewarisi usaha orang tuanya ita

Mulanya, perajin di desa Wedoro membuat sandal dari balian kulit hewan. Namun saat harga kulit melangit di tahun 1994, perajin beralih memakai bahan spons atau bahan dari karet yang menyerap air. "Dulu sandal kulit dibuat dengan paku, sekarang kami menggunakan perekat," kata Mubin.

Proses pembuatan sandal di Wedoro juga cenderung tradisional. Namun begitu, pengerjaan sandal mampu menyerap temaga kerja dalamjumlah yang lumayan. "Apalagi, kebayakan dari kami tidak bergantung padamesin," kata Muhanunad Haris, perajin yang mewarisi usaha orang tuanya itu.

Selain menjadi perajin sandal, warga Wedoro ada juga yang berprofesi sebagai pedagang bahan baku spons, lem dan perkakas kerja hingga pedagang sandal kr . luar daerah. "Hampir 80% warga hidup dari sandal," kata kata Haris.

Bisnis sandal ibarat magnet bagi warga Wedoro. Tak jarang ada warga yang memilih berbisnis atau menjadi perajin sandal ketimbang meneruskan sekolah. "Seperti saya ini, hanya tamat SD," kata Mubin. Walupun tamat SD, Mubin mencatat omzet dari penjualan sandal hingga Rp 20 juta perbulan. Adapun Haris mendulang empuknya omzet sandal hingga hingga Rp 500 juta per bulan.

0 komentar:

Post a Comment