Friday, July 29, 2011

Sandal Lokal Diinjak Sandal China

Handoyo Sudah jatuh tertimpa tangga pula. Itulah ungkapan yang cocok untuk menggambarkan kondisi para perajin sandal di Desa Wedoro di Sidoarjo. Belum usai dihantam kenaikan bahan baku, kini mereka harus bersaing dengan sandal dari China yang harganya jauh lebih murah.

Masalah seperti tiada henti mendera para perajin sandal di Desa Wedoro, Kecamatan Waru, Kabupaten Sidoarjo, .Jawa Timur. Setelah merasakan pahitnya kenaikan harga bahan baku, kini, perajin sandal di Wedoro harus berhadapan dengan membanjirnya sandal buatan China


Maklum, sandal made in China itu telah menggerogoti pasar sandal di Surabaya dan sekitarnya yang selama ini dikuasai para perajin sandal dari Wedoro. Produk sandal buatan Wedoro ini kalah telak karena sandal dari China memiliki banyak pilihan namun dengan harga nan murah meriah.

Data impor alas kaki di Kementerian Perdagangan menyebutkan, impor alaskaki (termasuk sandal dan sepatu) tahun lalu naik 96,76%, dari sebesar US$ 3,4 juta pada Januari 2010 menjadi sebesar USS 6,69 juta di Januari 2011. "Produk kami semakin tersisih," keluh Soliqah, perajin sandal di Wedoro.

Efektifnya kerjasama perdagangan bebas ASEAN-China Free Trade Agrement (ACFTA) pada 2010 lalu, ternyata juga berdampak pada pedagang sandal.

Lihat saja, sekarang ini banyak pedagang sandal yang lebih suka menjual sandal impor China ketimbang menjual sandal buatan para perajin dari Wedoro.

Penyusutan penjualan perajin berdampak pada penurunan pendapatan. Kondisi itu diperparah oleh kenaikan biaya produksi akibat harga bahan baku meroketkeluhan sama dirasakan Muhammad Haris, juga perajin sandal di Wedoro. Sejatinya nasib Haris tak jauh beda dengan Soliqah. Pasar sandal buatan Haris juga keropos digerus sandal impor dari China. "Tiga toko sandal yang menjual produk saya di Surabaya sekarang beralih menjual produk China saja," kata Haris.

Haris bilang, sebelum sandal China marak dijual di pasaran dalam negeri, saban minggu, Haris mampu menjual 200-300 kodi sandal tiap nunggu. "Sekarang sandal buatan saya hanya terjual 20 kodi saja," keluh Haris, masgul.

Tentu saja, kekalahan produk laris atau Soliqah dengan produk sandal uan China juga memangkas laba Haris. Sebelum pasar sandal dalam negeri kebanjiran produk China. Haris ma.sih bisa mengutip laba 40% dari omzet. "Sekarang cari laba 10% saja sulit," sambung Haris.

Haris menggambarkan sepinya order. Menurut dia, tahun lalu, juga menjelang Ramadhan adalah waktu kerja terpadat para perajin di desa Wedoro. Banyak pedagang sandal memesan sandal untuk kebutuhan lebaran. "Dulu sulit untuk bersantai, tapi sekarang kanu banyak santainya," kata Haris.

Tentu Haris juga tak tinggal diam melihat pasar sandalnya yang terus menciut. Dia pun membuat kreasi sandal baru dengan desain yang mengikuti perkembangan jaman. "Sekarang saya bikin sandal desain tokoh kartun Ipin Upin," kata Haris,

Hal serupa dirasakan perajin sandal lainnya, seperti Surokan. Ia mengaku, sejak sandal China membanjir, peminat sandal miliknya menurun. Tak hanya itu. laba yang ia hasilkan juga kian menipis. "Laba tidak bisa naik, sementara biaya produksi naik," kata Surokan.

Karena tak henti dilanda masalah, para perajin kini enggan mewariskan usahanya itu kepada anak-anak mereka Padahal, usaha produksi sandal itu sudah menjadi usaha turun temurun. "Bisnis ini tidak menjanjikan lagi. Kalau dulu pembeli yang mencari kami, kalau sekarang pembeli lebih suka mencari sandal impor," kata Haris.

0 komentar:

Post a Comment