Friday, July 29, 2011

Mencari Laba sekaligus Ama llewat Sabun

Jika pengusaha berusaha mengejar untung, hal itu sudah biasa, Akan tetapi, bagaimana jika pada saat bersamaanmereka berusaha mengejar amal? Hasilnya ialah social enterprise.

Sabun mandi sangat mudah ditemui di pasaran dan jenisnya pun ada ratusan. Namun, bukan berarti peluang mengawali usaha di bidang salah satu consumer goods ini tertutup. Asal ada inovasi dan sentuhan khusus, bisnis sabun bisa menghasilkan kabar harum. Seperti yang dilakukan tiga pervmpuan ini, Nadya Saib, Fitri Yuanita, dan Amirah Adi ia. Pada mulanya mereka ingin mandiri dalam karier tanpa harus jadi pegawai.


Ketiganya bertemu saat masih berstatus sebagai mahasiswa Sekolah Farmasi Institut Teknologi Bandung dan punya minat yang sama terhadap kosmetik. Pilihan produk untuk dibisniskan akhirnya jatuh kepada sabun mandi. Alasan mereka sederhana, itu merupakan kebutuhan yang digunakan setiap orang dan setiap hari.

Awalnya kita berbisnismemang hanya memikirkan keuntungan, tapi sekarang kita bisa memberikan dampak sosial bagi masyarakat lewat usaha kita."

"Kita pikir ini adalah fast moving consumer goods yang dipakai lebih dari sekali. Jadi, ini selalu dipakai," terang Nadya yang menjabat sebagai Direktur di Wangsa Jelita, nama perusahaan sabun tersebut di Bandung, beberapa waktu lalu.

Sebagai kegiatan usaha yang baru dirintis, mereka ingin produk tersebut berbeda dari produk sejenis yang sudah ada. Dengan berbekal pengetahuan semasa kuliah, mereka mencoba memformulasikan sabun dengan menjadikan minyak zaitun sebagai bahan dasarnya.

Hal itu berbeda dari pembuatan sabun yang umumnya memasukkan minyak zaitun hanya untuk mendapatkan wanginya saja. "Kita mulai penelitian pada Oktober 2008. Rumah Fitri dan kosku dulu yang jadi tempat untuk membuat sabun," kenang Nadya.

Modal untuk membeli peralatan penelitian dikumpulkan dari tiap anggota. Besar modal tersebut Rp500 ribu, yang didapat dari uang jajan mereka sendiri. Jumlah itu masih terus bertambah karena mereka butuh bahan-bahan lain pembuat sabun.

"Dari semua bahan, minyak zaitun itu yang paling mahal. Untuk bahan-bahannya itu, kita nyisiliin lagi dari uang jajan masing-masing," sambungnya.

Produk pertama mereka hanya dua varian, yakni sabun teh hijau dan sabun u/s/i/c (minyak zaitun murni). Setiap produk hasil uji coba kemudian dibagi-bagikan kepada kenalan mereka untuk mendapat masukan soal kualitas.

Kegiatan tersebut berlangsung hingga 2009, saat mereka memutuskan siap untuk menjualnya dengan nama Sapo, yang berasal dari kata saponin. "Kita jual dengan sistem reseller. Harganya dulu bervariasi, mulai RplOribu hingga Rp15 ribu. Bentuknya masih palel kotak yang kita potong-potong kecil," tuturnya, sembari menunjukkan bentuk awal sabun yang mereka jual.

Keputusan untuk menjual itu disebabkan pula keikutsertaan dalam ajang Pekan Mahasiswa Wirausaha di kampus mereka. Saat itu, varian sabun yang coba diproduksi mulai bertambah. "Di tahun 2009 itu, kita bikin lima jenis sabun, yakni COStile, teh hijau, apel, kuin it. sama kita sempat nyobain cinnamon (kayu manis)."

Atas inovasi produk itu, mereka berhasil menjadi pemenang pertama dan mendapat sejumlah uang dari ajang tersebut. Uang itu selanjutnya dijadikan modal untuk membesarkan usaha yang dirintis, termasuk memikirkan desain yang lebih atraktif untuk menarik minat konsumen.

Fitri kemudian menarik Heliana Lubis, teman semasa SMA. untuk membantu mempercantik produk. Tawaran itu pun disambut Ina, panggilan Heliana, mengingat permintaan itu masih sejalur dengan bidang yang ditekuninya, yakni desain komunikasi visual.

"Bentuknya memang harus diperbaiki. Kita harus menuruti pasar dengan packaging yang lebih baik dan ramah lingkungan," tukasnya.

Terketuk oleh petani mawar

Varian sabun yang di|ual kini terdiri dari tiga jenis, yakni castile, teh hijau, dan kunyit. Tak hanya puas dengan tiga jenis itu, mereka pun berpikir untuk menambah varian baru.

Slrmibeny kemudian menjadi varian pilihan mereka, mengingat sentra produksi terletak tak begitu jauh dari Kota Bandung, yakni Lembang. Di tengah-tengah pencarian bahan baku, inereka menemukan sesuatu yang lebih menarik.

"Kita bertemu dengan teteh-teteh petani mawar. Mereka cerita ada masalah. Penjualan mereka sebenarnya terbantu oleh adanya bandar, tapi itu hubungan satu-satunya ke pasar. Tidak ada bargaining power," tuturnya soal pertemuan diakhir 2009 itu.

Ketiadaan daya tawar petani mawar itu berdampak pada pengenaan harga yang tak setara pada mawar yarig dihasilkan. Nadya menjelaskan mawar terbagi dalam tiga tingkatan.

Tingkat A, tangkai mawar lebih dari 60 cm dihargai paling tinggi. Mawartingkat B ialah mawar dengan panjang tangkai 40-60 cm. Mawar ringkat C ialah mawar yang bertangkai kurang dari 40 cm. Dengan tangkai yang lebih pendek, harga mawar jauh lebih murah, padahal tidak ada masalah dengan kualitas kelopak bunga.

Penghargaan yang murah itu diperparah lagi dengan kewajiban membayar biaya sewa lahan kepada pihak ketiga karena para petani tak punya lahan sendiri. "Saya hampir menangis mendengarnya karena seperti tidak adil buat mereka.

Kebanyakan anak warga di sini hanya menjangkau sekolah sampai SMP. Saya ingin mereka sekolah lebih tinggi," sahutnya.

Keinginan membuat sabun dengan wangi slrcnvberry akhirnya berubah menjadi sabun dengan wangi mawar. Sasaran mereka yaitu mawar yang dikelompokkan sebagai tingkat B dan C.

Mereka berusaha memberi harga 3091 lebih tinggi daripada harga yang diberikan tengkulak. Lntuk itu, Nadya nekat memasukkan proposal ke ajang Arthur Cuiness Fund pada 2009.

Juri pun menyatakan proposal tersebut sebagai pemenang dan mereka mendapat sejumlah modal. "Aw atnya kita berbisnis memang hanya memikirkan keuntungan, tapi sekarang kita bisa memberikan dampak sosial bagi masyarakat lewat usaha kita," cetusnya

Sabun beraroma bunga mawar pun kemudian coba diformulasikan. Amirahlah yang bertugas menghasilkan produk terbaik. Oleh teman-temannya, ia bahkan dijuluki profesor sabun.

"Harga sabun ini nantinya akan dipatok Rp25 ribu per 100 gram. Harganya memang mahal, tapi ada cerita di balik sabun itu. Ada nilai sosi.il yang terkandung. Jadi, kita ingin nanti penjual kita menjelaskan mengapa kita hargai itu mahal," tukas Nadya.

0 komentar:

Post a Comment