Thursday, November 3, 2011

Ubin klasik naik daun, bisnis tegel motif jadi menarik

Tren kembali ke klasik juga dialami dalam hal pemasangan ubin. Saat ini banyak orang yang ingin mempunyai ruangan klasik dengan memasang tegel retro. Selain di Yogyakarta, tren ini juga tengah merambah kawasan Bali dan Jakarta. Ini bisa membuka peluang usaha baru.

Ubin atau tegel dalam bahasa Jawa memiliki banyak ragam motif dan jenis. Salah satu jenis ubin yang saat ini sedang tren di Yogyakarta adalah ubin motif klasik atau dikenal dengan nama tegel retro. Ubin yang dibuat dari semen dan pasir ini erat dengan sejarah Yogyakarta.

Teknik pembuatan tegel dengan cement floor tile itu diperkenalkan bangsa Belanda pertama kali kepada masyarakat Yogyakarta pada awal abad ke-20. Tegel retro bahkan dipakai untuk lantai Keraton Yogyakarta dan bangunan kuno. Motifnya yang kuno, tegel retro memberikan nuansa klasik pada bangunan.

Tak hanya menghiasi butik dan kafe, tegel retro juga menghiasi beberapa hotel di Jakarta dan Bali. "Ruangan terlihat klasik," ujar Sukiman, pemilik CV Megah Jaya, yang memproduksi tegel retro.

Menjual tegel sejak tahun 1999, Sukiman pada awalnya adalah buruh di pabrik tegel selama lima tahun. Menurutnya, selain menghasilkan nuansa klasik, penggunaan tegel juga lebih menguntungkan. Dibandingkan dengan keramik dan porselen, tegel memiliki pori-pori sehingga tidak pecah jika panas.

Selain polos, tegel retro juga dibuat dengan motif bunga, daun, batik, bentuk-bentuk geometris, hingga bentuk-bentuk dekoratif lain. Harga untuk tegel polos Rp 60.000 per m², sedangkan tegel motif Rp 165.000 per m². Dari berbisnis tegel ini, Sukiman bisa mengantongi omzet Rp 15 juta per bulan.

Tak hanya Sukiman yang menjalani bisnis pembuatan tegel retro. Riwanto, pemilik CV. Tegel Wong Yogya juga sudah berkiprah di bisnis ini sejak 10 tahun yang lalu. Ia mengklaim tegelnya lebih unggul dibandingkan dengan tegel produksi lain karena , memadukan motif Melayu.

Dari bisnis ini, Riwanto bisa memperoleh omzet Rp 9 juta sebulan. Omzet itu didapat dari penjualan tegel polos Rp 60.000 per m², dan motif warna-warni Rp 160.000 per m².

Riwanto menjelaskan, tegel dibuat dalam berbagai tahap produksi. Yaitu, pengayakan pasir dan semen, pencetakan, dan pemberian warna. Tak hanya itu, agar kuat tegel juga harus melalui proses pengeringan awal, perendaman, pengeringan akhir dan pengepakan. "Butuh pengalaman bertahun-tahun untuk bisa menguasai tekniknya," ujar Riwanto.

Perendaman menjadi proses yang sangat penting setelah tegel melalui pengeringan tahap awal. Perendaman selama 24 jam itu berfungsi untuk merapatkan pori-pori tegel dan memperkuat struktur sehingga tak mudah pecah. Setelah direndam, barulah tegel memasuki tahap pengeringan akhir selama empat-lima hari.

Baik Sukiman maupun Riwanto mengaku tren permintaan tegel retro telah menanjak sejak lima tahun ke belakang. Hal ini seiring banyaknya konsumen yang ingin kembali memiliki ubin dengan desain tempo dulu yang lebih artistik.

0 komentar:

Post a Comment